Robot Raksasa itu Bernama Sepak Bola
![]() |
ilustrasi : A Football Game, lukisan karya Russell Drysdale |
Ada lagi korban jiwa di dalam dunia sepak bola Indonesia. Ternyata
sepak bola bukan hanya sebatas olah raga. Sepak bola telah menjelma menjadi
sebuah sistem yang rumit. Sepak bola bukan hanya pertandingan di dalam lapangan
hijau. Sepak bola adalah sebuah motor yang mampu menggerakkan seluruh elemen di
jagat raya ini. Saking rumit dan kompleksnya, sepak bola telah berubah menjadi
robot raksasa yang tak bisa dikendalikan. Berulang kali robot raksasa ini
memakan korban jiwa. Ini memang sudah di luar kontrol manusia.
Doktrin mengenai fanatisme dalam sepak bola bisa merasuk ke
tulang sumsum, melebihi ajaran agama yang diterima. Seorang bisa berganti agama
ketika merasa ada ajaran yang dianggap lebih baik. Tapi tidak bagi penganut
sepak bola. Ketika telah berikrar menjadi pendukung sebuah klub sepak bola, ikrar
itu dibawa sampai mati apapun yang terjadi! Sebut saja pendukung Liverpool yang
dengan setia memuja klub kebanggaannya meskipun sudah hampir tiga puluh tahun
tidak pernah juara Liga Inggris. Seragam kebanggan klub sepak bola itu tidak
bisa ditukar dengan apapun!
Terkadang sepak bola menjadikan kita bodoh. Siapa bilang
sepak bola itu menyatukan? Sepak bola itu sebenarnya memecah belah! Yang namanya
The Jackmania pastilah berseteru dengan Viking! Seorang Madridista pastilah adu
gengsi dengan Barcelonistas! Seorang Milanisti tidak pernah akur dengan Interisti!
The Gooners selalu berlawanan dengan The Blues. Ya memang ada kalanya perseteruan itu reda...
akur... berangkulan, bergandeng tangan dan berpelukan seperti Pak Jokowi dan
Pak Prabowo. Tapi ya hanya sesaat saja. Selanjutnya, berseteru lagi. Rivalitas
itu abadi!
Siapa yang bisa mengatur dan mengemudikan robot raksasa ini?
Tidak ada yang bisa. Robot raksasa bernama sepak bola telah telanjur bergerak
tak terkontrol. Untuk meredam risikonya (bukan mengontrol), kita perlu
melengkapi diri dengan selalu “eling lan waspadha”. Eling tentang hal
kemanusiaan yang harus diutamakan. Tak perlulah kita berlebihan membela tim
kesayangan kita, bahkan sampai mengabaikan nyawa orang lain. Sepak bola itu
hanyalah permainan. Kita harus selalu menyadari batasan ini. Waspada akan
mereka yang menjadikan sepak bola sebagai kendaraan untuk kepentingan golongan
tertentu. Banyak mereka yang memolitisasi sepak bola sehingga sepak bola tidak
menawan lagi.
Menanamkan ajaran tentang “eling lan waspadha” dalam bersepak
bola, sepertinya perlu dilakukan secara khusus dalam dunia pendidikan kita. Di sekolah-sekolah,
masjid-masjid, TPA, Sekolah Minggu, Persekutuan Pemuda, sudah saatnya bukan
hanya membahas tentang pelajaran sekolah dan hal-hal surgawi saja. Tapi konteks
sepak bola di negeri ini pun perlu untuk menjadi bahan perenungan bersama agar
tidak tercipta fanatisme yang membabi buta.
Semoga sepak bola ke dapannya menjadi lebih manusiawi lagi.
mungkin itu menjelaskan mengapa para jendral berebut jadi ketua PSSI.
BalasHapus