Hadiah dari Tuhan
Siapa tak mengenal The Beatles? Band asal Liverpool ini
memang memiliki penggemar di setiap generasi. Lagu-lagu yang tercipta menjadi
karya abadi yang tetap asyik didengar di setiap jaman. Apakah rahasia dibalik
kesuksesan ini? Jawabnya ada pada kedua personelnya, John Lennon dan Paul
McCartney yang mampu menciptakan karya yang luar biasa. Mereka berdua adalah
pencipta sebagaian besar lagu the Beatles yang kemudian menghantarkannya
menjadi band legendaris.
Di balik proses penciptaan karya besar the Beatles, ada hal
yang menarik untuk kita simak sejenak. John dan Paul adalah dua orang musisi
yang berbeda secara visi dan gaya bermusik. John adalah seorang musisi yang kuno.
Sangat klasik, ortodoks, dan tradisional. Saking ortodoksnya, John masih
mempertahankan sound mono di banyak karyanya, yang pada waktu itu sudah mulai
tergeser dengan sound stereo. Sebaliknya, Paul adalah seorang musisi yang
berkiblat kepada musik modern. Paul banyak melakukan eksperimen di dalam
karyanya dan meninggalkan pakem baku. Tentu saja menyatukan keduanya, Paul dan
John, bukanlah perkara mudah. Tak jarang di dalam studio mereka berdua
bertengkar hebat. John menginginkan musik the Beatles berkiblat kepada pakem
yang baku, tidak neko-neko... sedangkan Paul sebaliknya. Ia sangat suka
bereksperimen dan menggunaan sound-sound modern dalam berkarya.
Pertengkaran demi pertengkaran memang tak dapat dihindari
karena perbedaan visi. Tapi ternyata hasil dari pertengkaran itu membuahkan
karya yang luar biasa! Lagu-lagu the Beatles memiliki dua kekuatan yang besar :
tradisi dan modernitas. John menanamkan tradisi dan Paul menanamkan modernitas.
Tradisi itu seperti akar yang mencengkeram tanah, sedangkan modernitas itu
seperti ranting yang menggapai angkasa. Demikianlah karya abadi tersebut tercipta.
Lalu bagaimana dengan Gereja? Tiga hari ini (14 – 16 Mei
2018), Komisi Pengajaran Sinode GKJ mengadakan seminar yang bertemakan ibadah
kontemporer. Fenomena yang terjadi saat ini adalah adanya pembagian dua macam ibadah
: ibadah tradisional (yang dijumpai dalam ibadah-ibadah Minggu GKJ) dan ibadah
kontemporer (yang dijumpai di gereja-gereja karismatik dan diadopsi di GKJ). Masing-masing
memiliki kekuatan dan juga kelemahan. Ibadah kontemporer tidak bisa dipungkiri
sudah menjadi kebutuhan bagi GKJ. Akar dari pergumulan ini adalah munculnya
generasi baru yang membawa visi dan semangat baru yang tidak bisa disamakan
begitu saja dengan generasi yang terdahulu. Oleh karenanya seringkali dijumpai
benturan antar generasi. Generasi yang klasik dan yang kontemporer (meskipun
kelak yang kontemporerpun juga akan menjadi klasik).
Di sinilah identitas GKJ terbentuk. Identitas di
persimpangan jalan. Bukan hanya lintas generasi tetapi juga lintas budaya. Benih
Injil yang dari Palestina, dibawa orang Eropa, dan ditanam di Jawa. Sebenarnya
inilah kekayaan dan kekuatan GKJ, ketika mampu mengolah dengan kritis dan
saling menghargai perbedaan. Ketika ada benturan, sebenarnya ini adalah
potensi! Tinggal bagaimana mengolahnya, seperti John dan Paul yang mau tidak
mau harus saling mengalah dan menghargai untuk berkarya. Ada saatnya
berbenturan... tapi juga harus ada saatnya berkarya bersama. Yang tradisional
bisa menjadi akar yang kuat mencengkeram bumi, sedangkan yang kontemporer bisa
menjadi ranting yang menembus tingkap-tingkap langit.
Komentar
Posting Komentar