Stephen Hawking yang Mengajak Kita Berlari
![]() |
Sarah Lee/London Science Museum, via Agence France-Presse — Getty Images |
Stephen Hawking, fisikawan kosmis yang mencetuskan
teori-teori ajaib telah tiada. Hawking meninggalkan teori yang membuka realitas
kemungkinannya terbentuknya semesta dari hukum-hukum fisika. Hawking dalam buku
The Grand Design mencoba memaparkan jawaban akan eksistensi semesta, tanpa
menyertakan peran Tuhan! Hawking pun menganggap filsafat sudah mati, tidak lagi
mampu mampu mengejar kemajuan jaman.
Gereja lagi-lagi harus belajar untuk berlari. Sudah bukan
saatnya lagi mengenang romantisme jaman kejayaan di mana Gereja dianggap
sebagai jawaban satu-satunya atas misteri semesta. Berkali-kali gereja
dibenturkan dengan realitas yang ternyata berbeda dari Kitab Suci. Ketika para
cendikia menemukan bumi ini ternyata bulat... pusatnya perputaran bumi adalah
matahari... teori Big Bang... teori evolusi.... adanya alien... hingga yang
bersifat humanis, fenomena LGBT. Gereja sering kali memosisikan diri sebagai
oposisi. “Pokoknya kalau tidak sesuai Kitab Suci, sesat!!” Ya, akhirnya Kitab
Suci dipandang sebagai Firman Tuhan yang sangat kaku. Sabda Allah terpenjara
hanya di dalam kata-kata yang tertulis di kitab yang disucikan. Dan ketika
terjadi benturan-benturan hebat, gereja sendirilah yang merasakan krisis.
Ternyata Stephen Hawking sangat dihargai sebagai ilmuwan
oleh gereja-gereja di Inggris. Meskipun Hawking seorang ateis, tetapi rasa
hormat gereja di Eropa atas dirinya yang telah mengembangkan teori fisika
kosmis hingga membelalakkan mata dunia, tidaklah luntur. Uskup Hertford, Dr.
Michael Beasley memberikan penghormatan khusus kepada Hawking. Beasley
memandang Hawking adalah fenomena yang mengagumkan di mana sosok manusia mampu
memiliki pola pikir yang melebihi batas-batas nalar.
Teologi adalah ilmu yang harus mampu bersinergi dengan ilmu
yang lain seiring kemajuan jaman. Lalu bagaimana seharusnya Kitab Suci
ditempatkan ketika sudah tidak lagi mampu menjawab permasalahan jaman? Kitab
Suci bukanlah Wikipedia ataupun Google yang mampu memberikan jawaban kekinian.
Kitab Suci harus kita tempatkan sebagai refleksi iman penulis pada waktu itu
yang dipakai oleh Tuhan. Ya, pada waktu itu! Bukan waktu sekarang. Makanya
perlu dibangun jembatan untuk memahami “kerasnipun Gusti punika punapa ta?”.
Stephen Hawking memang telah tiada. Tetapi pemikirannya
terus hidup dan bergelora seiring misteri semesta. Apa yang dicetuskan Hawking
adalah cemeti bagi Gereja untuk ikut hidup dan bergelora. Tidak malah
terkantuk-kantuk seperti ketika mendengar kotbah tanpa ekspresi. Terima kasih,
Stephan Hawking. Selamat menyelami misteri kehidupan selanjutnya.
nuhun.
BalasHapustulisan yg mencerahkan
Ilnu dan agama kadang memiliki ranahnya sendiri dan tidak harus (bisa) didamaikan...
BalasHapusMeski ateis, ia baik dan pekerja keras...
Jadi kadang berpikir juga...agama semakin kehilangan perannya..
cap ateis itu muncul dari yang beragam atau dari pihak ateisnya sendiri ya?
Hapus