KERUMUNAN
![]() |
"Cry of the Masses" by: Josef Vachal |
Pekan
terakhir menjelang Paskah mempertontonkan setidaknya dua kisah tentang
kerumunan. Pertama, kerumunan orang yang bersorak “selamatkanlah kami...!” sambil
melambaikan dedaunan. Kedua, kerumunan orang yang berteriak “salibkan dia…!” Keduanya
sama-sama kerumunan, namun punya sikap berbeda. Kedua kerumunan itu kemungkinan
berisi orang-orang yang tidak sama pula. Meski tak mustahil bahwa ada
orang-orang yang ikut di kedua kerumunan tersebut.
Kerumunan
pertama mencerminkan harapan dan permohonan. Yesus digadang-gadang akan
menyelamatkan, seperti yang mereka inginkan. Maklum saja, mereka ini adalah
orang susah dan menderita pula miskin. Sudah lelah ditindas dan dijajah. Karena
muncul sosok yang nampaknya menjanjikan, maka mereka sambut luar biasa. Namun
sayang, kerumunan itu nampaknya kurang memiliki kekritisan. Harapan mereka
mentah karena paham yang salah.
Kerumunan
kedua mencerminkan kemarahan. Yesus diarak dan diadili sebagai tersangka yang
siap didakwa menista agama. Bagi orang yang berani menghina agama, mati adalah
hukumannya. Maklum saja, mereka dihasut dengan isu yang mudah disulut. Agama
beserta simbol-simbolnya memang “bahan bakar” yang mudah membikin amarah
berkobar. Namun sayang, kerumunan ini pun kurang kritis.
Demikianlah
kerumunan itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bisa membius dan
mengendalikan sebuah ide, pikiran, gerakan, tergantung kekuatan yang
menggerakkannya. Biasanya, yang laku dijual adalah harapan dan ketakutan.
Kerumunan yang mudah digerakkan oleh kedua hal itu bisanya adalah kerumunan yang
kurang memiliki kekritisan. Mudah diiming-iming atau sebaliknya mudah
ditakut-takuti. Akibatnya adalah kekaguman dan harapan yang membabi-buta, atau
sebaliknya kepatuhan yang kering dan kemarahan pada pihak lain.
Konon,
Yesus memiliki pengikut yang juga berkerumun dalam komunitas-komunitas, yang
kelak bernama gereja. Apakah kehidupan gereja juga sama dengan kedua kerumunan
di atas? Atau gereja telah menjadi kerumunan yang kritis? Nampaknya sih ada-ada
saja kerumunan gereja yang mudah dipengaruhi oleh iming-iming. Pun tak sedikit
kerumunan gereja yang mudah ditakut-takuti. Menjadi kerumunan yang kritis
memang ngga mudah. Barangkali yang
perlu dimulai adalah beriman tanpa didominasi oleh “rezim” iming-iming kenikmatan
maupun “rezim” ketakutan. Hal itu pun perlu didukung kemampuan untuk hening.
Selama
komunitas agama tak menjadi komunitas yang kritis, ya kan mudah
diombang-ambingkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan pandai
menggerakkan kerumunan, demi keuntungan sendiri. Hal-hal semacam itu yang
memang sering ngga disadari oleh orang-orang yang berkerumun. Lha wong mereka
emang ngga mikir sampai segitu. Ya karena sudah terlanjur emosional. Entah
emosi seneng banget atau emosi marah banget. Yang penting nggrombol, sorak-sorak, rumangsa
bener, hasrat agamanya dipuaskan, dapet legitimasi dari kerumunan. Di tahun politik seperti sekarang ini, kerumunan di media sosial adalah "pasar" yang menjanjikan bagi para petualang politik demi meraup keuntungan. Nampaknya, simbol dan isu agama masih akan jadi barang dagangan yang laris. Apalagi kalo kerumunan itu tidak kritis.
kerumunan yg menyalibkan dan menyambut Yesus dg palem itu orang2 yg sama atau beda ya? Di suatu kota, yg jadi Slankers, yg jd Vianisti, yg jd suporter sepak bola, dan yg jd kelompok2 pembela agama itu biasanya orang2 yg sama.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBisa sama bisa beda. Tergantung sapa sing mbayar hehehe...
BalasHapus