jembatan
Ada pesan menarik dari bahan pemahaman Alkitab edisi HUT
Sinode GKJ tahun ini, yakni ajakan untuk membangun jembatan. Bukan tembok. Saya
memahami dan menerangkannya dengan cara membangun jembatan pembelajaran lintas
agama/iman serta budaya. Dengan bahasa lain: membangun dialog.
Prasangka itu muncul ketika kita tidak memahami secara benar
sesuatu yang kita anggap salah. Dalam hal agama, ini sangatlah berbahaya! Belum
tahu (dan tidak mau tahu) ajaran agama lain yang sesungguhnya, sudah mengatakan
sesat... kafir... Apalagi hanya bermodalkan katanya, katanya, katanya...
Ada seorang rekan Majelis yang sering mengawali pendapatnya
dengan rujukan kisah Mahabarata. Ia menyarikan bagian yang dikisahkan dalam
Mahabarata dan membandingkan dengan kisah Yesus. Saya selalu tertegun dibuatnya.
Kagum! Ternyata kita dapat belajar tentang kasih Kristus dari kisah Mahabarata!
Inilah membangun jembatan. Bukan hanya lintas iman, tetapi juga lintas budaya. Bagaimana
budaya Jawa berjumpa dengan budaya modern adalah hal yang menarik untuk kita
pelajari. Dengan memahami budaya Jawa sebagai budaya lokal dengan budaya
modern, kita akan mengikis munculnya prasangka. Mengapakah bisa tercipta
istilah “kids jaman now”? Nah, dengan memahami dan membangun jembatan lintas
generasi, kita tidak lantas mudah menyalahkan mereka yang berbeda dari kita.
Lho, kalau begitu sinkritisme dong? Mencampur adukkan agama
yang kita pelajari? Jembatan itu hanya menghubungkan saja. Tidak memindah. Saya
memerlukan jembatan untuk menuju kampung seberang. Setelah sampai kampung seberang
ya saya kembali lagi ke kampung asal saya dengan jembatan yang sama. Tidak lalu
saya tinggal seterusnya di kampung seberang. Demikian pula dengan hal iman. Jembatan
itu hanya berfungsi untuk dialog dan mengenal lebih dekat. Tetap kita akan
kembali ke “rumah” kita masing-masing. Membangun “jembatan” akan membuat kita
hidup di dalam damai sejahtera. Tetapi membangun “tembok” akan membuat kita
hidup dengan prasangka yang tiada habisnya.
Komentar
Posting Komentar