dogma rasa
Bisnis makanan dan minuman adalah bisnis yang sangat
menjanjikan. Yang dijual dari makanan dan minuman tersebut sebenarnya bukan apa
yang membuat kenyang, melainkan apa yang dirasa. Rasa yang kita kecap dengan
lidah adalah daya tarik dan bisa menjadi magnet yang luar biasa dalam dunia
bisnis. Ketika bisnis kuliner itu bergulir, muncullah sebuah “dogma” akan rasa.
Munculnya produk makanan dan minuman instan, muncul pulalah rasa yang menipu
kita.
Banyak produk menawarkan “rasa ayam”, “rasa sapi”, “rasa
keju”, “rasa cokelat”, “rasa stroberi”, “rasa jeruk”, dan masih banyak lagi
rasa yang lain. Para pelaku bisnis kuliner instan telah menggiring kita kepada
sebuah “dogma” yang menyesatkan mengenai hal rasa. Sebutlah satu rasa, yakni
rasa ayam. Apakah sebenarnya rasa ayam itu? Mi instan yang berlabel rasa ayam
menawarkan rasa yang gurih. Inilah yang kemudian meracuni konsumen akan “dogma
rasa” yang menyesatkan.
Apa benar rasa ayam seperti itu? Demikian pula dengan
rasa-rasa lain yang ditawarkan. Benarkah rasa stroberi itu seperti es krim
berlabel “rasa stroberi”? Tidak! Rasa ayam itu tawar. Rasa stroberi itu masam. Oleh
pelaku bisnis kuliner instan, diciptakanlah rasa yang menarik lidah. Rasa ayam
diwakili dengan rasa gurih. Rasa stroberi diwakili dengan rasa manis – sedikit asam.
Dan ini semua hanyalah rekayasa belaka yang sudah diterima masyarakat kita
sebagai “dogma rasa”. Ketika diminta mencicipi kaldu produk “rasa ayam” dan
kaldu ayam yang asli, sepertinya banyak orang akan memilih kaldu produk “rasa
ayam” sebagai kaldu yang asli ayam. Inilah kesuksesan pelaku industri kuliner
dalam menjual produknya.
Salah satu kegagalan umat dalam beragama adalah menciptakan “dogma
rasa” dalam kehidupannya. Membuat ajaran baku yang anti terhadap penafsiran
ulang, dan dianggap sebagai hukum sebagai penentu benar-salah, suci-dosa. Misalnya
saja Taurat yang banyak diselewengkan sebagai dogma yang kaku dalam kehidupan. Pokoknya
hari Sabat itu ya harus disucikan dengan berhenti bekerja! Tanpa mengenal
dialog, akhirnya jadilah tradisi ini menjadi “dogma rasa” yang wibawanya
melebihi Taurat itu sendiri. Masih banyak lagi “dogma rasa” yang tersaji dalam
kehidupan beragama kita.
“Dogma rasa” ini harus dilawan dengan sikap kritis umat. Janganlah
kita dikelabuhi oleh “rasa ayam” dari produk instan yang memang kelihatannya
lezat. Kita harus mencari tahu bagaimanakah rasa asli kaldu ayam itu? Kita pun
harus terus menggali dogma ataupun ajaran dalam kehidupan beragama dengan
melihat konteks dan budaya di mana kita menjalani kehidupan bersama saat ini. (dpp)
Komentar
Posting Komentar