tambal ban
Dialah tukang tambal ban. Saat motor kita melaju lancar,
keberadaannya tak kita hiraukan. Tapi saat ban motor kita bocor di tengah
jalan, kita begitu merindukan keberadaannya.
Perjalanan saya malam itu memang sedikit sial (bagi saya). Menuju
kota Yogya, tiba di Kalasan, ban motor kempes... Waduh... ini sudah malam. Sudah
jam sembilan lebih dua puluh menit. Kojur tenan... Sepuluh menit saya
ngos-ngosan menuntun motor, tibalah di tempat yang bertuliskan “tambal ban”
lengkap dengan pajangan ban besar di depannya. Rasanya cukup lega. Tapi sialnya
kok sepi? Waduh, cilaka... ternyata sudah tutup! Kembali saya lanjutkan
perjalanan penuh beban dengan bersungut-sungut. Beberapa tempat saya jumpai memang
tertulis “tambal ban” tapi semuanya sudah tutup. Barulah setelah genap dua puluh menit saya
menuntun motor, ketemu juga tempat tambal ban yang benar-benar buka!! Alhamdulilah....
batin saya dalam hati. Ketemu mas-mas tambal ban rasanya seperti ketemu dengan mbak
Dian Sastro yang aduhai...
Setelah tulisan kemarin ngomongin mas-mas penyampul buku,
sekarang gantian ngomongin mas-mas tukang tambal ban (perasaan kok mas-mas
terus ya yang diomongin?). Tukang tambal ban itu pekerjaan unik. Meskipun tak
dikenal tapi merekalah juru selamat bagi yang kebanan di jalan. Uniknya, kita tidak
bisa memiliki langganan tukang tambal ban. Kita bolehlah bisa memiliki dokter
langganan, warung langganan, tukang becak langganan... Tapi tidak bisa untuk
yang namanya tukang tambal ban langganan. Meskipun garapannya rapi, cekatan,
ramah sekalipun, tapi kita tidak bisa menjadi pelanggannya. Lha wong kita kan
tidak tahu di mana kita akan kebanan?
Perjumpaan orang yang kebanan dengan tukang tambal ban itu
seperti perjodohan jaman dahulu. Kita tidak bisa memilih siapa yang menjadi
jodoh kita. Orang tualah yang berhak menentukan semuanya. Angan-angan kita
tentu jodoh itu adalah orang yang setia, rajin, cantik atau ganteng,
syukur-syukur kaya. Tapi ketika apa yang kita impikan itu meleset, ya sudah...
terima saja nasib perjodohan ini. Pun demikian dengan tambal ban. Ketika ketemu
tukang tambal ban yang baik hati dan tidak sombong, ya nasib kita berarti lagi
mujur. Tapi kalau ketemu tukang tambal ban yang judes, angkuh, grusa-grusu...
lha mau gimana lagi? Apa kita mau permisi lewat, melanjutkan perjalanan
menemukan tukang tambal ban yang baik hati? Ya... terima sajalah nasib itu.
Perjumpaan dengan tukang tambal ban itu... seperti
perjumpaan kita dengan keluarga kita. Kita lahir kapan dan di mana? Dari rahim
siapa? Siapa bapak kita? Apa agama orang tua kita? Kita nggak bisa milih...
Semua itu ya harus dijalani dan dinikmati. Sudah bersyukur kita ketemu tukang
tambal ban. Bersyukur pula kita telah
dilahirkan di dunia ini....
Untungnya saya menjumpai mas-mas tukang tambal ban yang baik
hati juga tidak terlalu sombong. Garapannya rapi, cekat-ceket, dan lumayan
murah... Puaslah hati ini ketemu juru selamat yang bukan hanya sekedar mengumbar
janji tapi juga bukti nyata. Saat bergumul tentang tambal ban ini, waktu
perjalanan pulang dari Yogyakarta (sekitar pukul 00.30), di Prambanan saya
melihat orang yang kebanan juga. Nuntun sepeda motor... dan di larut malam
ini... sejauh motor melaju ternyata tidak lagi saya jumpai tukang tambal ban
yang masih berjaga!! “Dhuh Gusti, paringana sabar mas-mas yang nuntun motor itu...”
Doa saya sambil tetap melaju. (dpp)
Komentar
Posting Komentar