Rock (tak lagi) Bergema
Malam ini cukup puas menyaksikan penampilan Frenz, band
lokal yang mengusung lagu-lagu Mr. BIG di siaran langsung Taman Buaya Beat Club
TVRI. Suasana rock era 90-an cukup menghangatkan malam di tengah guyuran hujan
yang begitu deras. Sembari menghirup kopi, telinga ini dimanjakan hentakan
musik keras yang sudah lama tak bergema.
Musik rock memang sudah sekarat di jaman ini. Koma. Kritis.
Banyak yang mengatakan inilah akhir jaman dari musik rock. Memang masih ada
beberapa yang aktif dan memproduksi album rock, seperti Metallica, Mr. Big, Bon
Jovi, God Bless, Boomerang, Slank, Gigi.... Tapi masalahnya adakah yang
mendengarkan? Ketika semangat mencipta itu masih menggebu tapi tidak ada yang
menikmati, lambat laun punahlah musik rock. Kalau pun masih ada gema rock
terdengar di jaman ini, itu hanyalah reproduksi semata. Kaset lama yang diputar
kembali dan terus berulang-ulang diputar hingga kusut. Tidak ada kaset yang
baru.
Ketika nanti musik rock benar-benar mati, siapa yang
bertanggung jawab? Fenomena ini ternyata bukan hanya masalah lokal di Nusantara
saja. Ini masalah global yang universal. Personel Mr. BIG yang di Amerika sana
lebih memilih mengajar musik daripada memproduksi album. Itu pun masih bagus,
masih bergerak di bidang musik. Banyak mantan rocker yang banting setir sebagai
sales obat, pembuat roti, peternak sapi, petani, dan bahkan pekerja kuli
bangunan! Rocker juga manusia. Itulah jawabannya. Jiwa mereka memang rock. Tapi
ketika dihadapkan masalah perut, apalah daya... rock sudah tidak laku dijual.
Mereka tidak bisa disalahkan begitu saja. Bubarnya band-band
rock bukan karena mereka sudah tidak idealis lagi, tetapi lebih kepada urusan
perut masing-masing personel. Rock itu bukan kerja bakti. Rock itu jualan juga!
Masalahnya adalah rock sudah tidak lagi laku. Pelaku dunia hiburan pun
sebenarnya mencoba untuk mempertahankan rock sebagai jualan yang laris manis
seperti era kejayaannya di tahun 90-an. Tapi tetap saja lesu.
Rock itu revolusioner! Bergerak cepat, membabibuta! Inilah
yang membuatnya tidak lagi laris. Seruan akan kebebasan berpendapatlah yang
melahirkan musik rock. Melalui musik cadas ini orang bisa bebas berteriak,
memaki, menuduh, mengaduh, mengkritik sesuka hati. Semua ini tidak bisa
diwujudkan melalui musik pop yang anggun atau musik jazz yang ruwet. Isu-isu
politik yang tidak sedap di Amerika dan Eropa kisaran tahun 60 – 90lah yang
memicu berkembangnya musik rock. Kehidupan sosial-ekonomi yang amburadul, si
kaya semakin kaya si miskin semakin miskin, semakin memperkeras gaung musik
rock waktu itu. Kesenjangan antar golongan, pertikaian beda agama, isu seputar
ras, sex bebas, drugs, dan banyak keprihatinan lain menjadikan rock tetap hidup
dan menghidupi.
Di Indonesia sendiri maraknya demo di era orde baru menjadikan
rock sebagai jualan yang laku. Sebut saja Slank, Elpamas, Roxx, Voodoo,
Powermetal, Powerslaves, God Bless, Swami, yang mengusung sindiran nyinyir
kepada pemerintah mampu diterima di kalangan kawula muda waktu itu. Musik
revolusioner memang dibutuhkan di era revolusi.
Jaman telah berubah. Masa
revolusi telah berlalu. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan musik yang
membakar tapi musik yang menghibur. Bukak sithik jos!! Yang seperti itulah yang
laku saat ini. Simpel, mudah diingat, dan bisa untuk goyang... Masyarakat kita
adalah masyarakat yang lelah. Tak ada energi untuk mengikuti hentakan musik
cadas. Masyarakat kita butuh hiburan di tengah bobroknya moral.
Bangkitnya musik rock hanyalah omong kosong belaka. Selama masyarakat
tidak butuh revolusi, musik rock tetaplah hening menanti ajal. (dpp)
Komentar
Posting Komentar