Perjuangan Keadilan Johanna Masilela
“Tolong izinkanlah saya membuat sejarah. Johana Masilela. Nomor saya
adalah 827.” Begitulah teriakan Masilela di tengah jerat ketidakadilan yang ia alami. Jeritan untuk memperjuangkan keadilan.
Johanna Masilela
dilahirkan di sebuah pertanian Afrika Selatan pada tahun 1916, ia terlahir
sebagai orang miskin dan berkuliat hitam. Ia adalah putri dari petani
penggarap ladang. Pada suatu hari ketika orang tuanya sedang pergi menggarap
ladang, kaki Johanna Masilela patah tertimpa babi. Oleh karena tidak
mendapatkan perawatan kesehatan yang baik, kakinya pun menjadi pincang. Dengan
kakinya yang pincang itu, ia melakukan perjalanan jauh untuk bersekolah setiap
hari selama lima tahun, sampai kemudian ia masuk rumah sakit karena terluka.
Ketika berusia 16 tahun ia terpaksa meninggalkan sekolah untuk membantu ibunya
di rumah, ia memiliki tiga orang anak. Kemudian ia sebagai pembantu rumah
tangga. Akhirnya ia menjadi “pengawas anak,”
merawat anak-anak. Ia bekerja sepanjang waktu sampai kemudian anaknya
yang keempat lahir.
Pada tahun 1957
kampungnya dipindahkan ke Soweto. Johannesburg kemudian menjadi terlalu jauh
untuk ditempuh dengan jalan kaki dan terlalu mahal bagi Johanna Masilela untuk
menempuhnya dengan menggunakan kereta api, jadi ia menjual buah-buahan dan
akhirnya mendapatkan pekerjaan menyeterika. Pada saat itu kakinya yang pincang
semakin mempersulit dirinya ketika hendak naik kereta api atau bus kota. Akhirnya
ia mendapatkan anak-anak untuk dirawat dan menjadi “pengawas anak” lagi.
Tetapi sejak ia
berusia 67 tahun di tahun 1983, Johanna Masilela mengeluh karena “lelah” dan
rasa sakit di kakinya. Rasa sakit dan kelelahan membuatnya menjadi tidak sabar,
jadi ia menyerah menjadi “pengawas anak” karena takut dirinya tidak berguna
lagi bagi anak-anak. “Ketika seluruh tubuhmu lelah dirimu menjadi kejam, jadi
itu tidak menyenangkan,” katanya. Namun hasilnya adalah ia tidak memiliki
pekerjaan dan tidak merasakan lagi siapa dirinya yang sebenarnya: “Jadi entah
bagaimana saya telah meninggalkan sejarahku.” Demikianlah Johanna Masilela
mengajukan permohonannya: “Tolong izinkanlah saya membuat sejarah. Johanna
Masilela. Nomor saya adalah 827.” Dalam cerita singkat Johanna Masilela ini
nampak ketidakadilan di dunia kita: yaitu ketidakadilan seksual, ras, ekonomi,
politik, budaya dan sosial. Kisah Johanna adalah sebuah gambaran tentang arti
menjadi perempuan, hitam, miskin, tertindas, kekurangan dan hina. Ini adalah
gambaran mengeroposnya keadilan dan berkuasanya
ketidakadilan.
Dari Johana
Masilela, kita belajar mengenai bahaya rasisme. Rasisme
merupakan bentuk penolakan atas keberadaan diri seseorang. Rasisme melibatkan
prasangka yang dihembuskan sebagai mitos. Mitos-mitos itu membangun
inferioritas orang lain untuk membenarkan pengucilan, diskriminasi,
penganiayaan dan bahkan kematian mereka. Di samping itu
kekerasan juga mengiringi rasisme di mana pun ia berada. Rasisme tidak hanya
sekadar prasangka tetapi ia adalah prasangka yang memperkenankan dan bahkan
mendorong terjadinya kekerasan. Rasisme merupakan kebulatan tekad untuk
menurunkan derajat seseorang pada keadaan perbudakan abadi. Rasisme menciderai
martabat manusia dan yang dihasilkannya adalah penolakan total terhadap keberhargaan
dari keberadaan diri seseorang. Keadaan ini
juga dekat dengan kita. Seringkali seseorang dari etnis tertentu memandang rendah etnis-etnis yang lain. Dalam
hal ini, nilai-nilai kebhinekaan yang mempersatukan perlu diutamakan dalam
konteks hidup bersama di Indonesia.
Kita juga belajar mengenai suatu kaum yang mengalami perampokan. Bangsa
Indonesia pernah mengalaminya di masa lalu. Dan kita pun dalam buku sejarah
menyebut bangsa Belanda sebagai perampok, sebagai penjajah. Kenyataan yang kita
hadapi adalah bahwa orang-orang
miskin di mana-mana bekerja keras, namun upah yang mereka dapatkan tidak sesuai
dengan standar untuk hidup. Orang-orang miskin tidak hanya menghasilkan sedikit
uang, namun seringkali mereka menjumpai bahwa harga kebutuhan dasar ternyata
lebih mahal bagi mereka. Dampak kemiskinan yang mendunia adalah penyakit dan
kelaparan.
Dan ketidakadilan budaya pun nampak dari kisah Johana Masilela. Ketidakadilan
budaya banyak wujudnya, secara primer adalah penghancuran kebudayaan itu
sendiri – pengusiran
orang-orang dari tanah airnya dan pemaksaan cara hidup yang berbeda. Pengusiran orang-orang
dari tanah airnya berarti
kemiskinan, penyakit dan kematian bagi mereka yang dipindahkan. Pengusiran penduduk
seringkali disertai dengan kekerasan. Tetapi perlawanan yang timbul dari rakyat
bukan disebabkan oleh kemiskinan atau penderitaan ekonomi. Perlawanan mereka
tertuju pada hilangnya kebudayaan dan tradisi mereka. Pengusiran dan
pencerai-beraian penduduk menghancurkan kebudayaan dan identitas sosial mereka.
Mereka kehilangan sejarahnya.
Ketidakadilan budaya semacam ini juga pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Ini
adalah permasalahan politik di mana kekuasaan dipergunakan untuk menindas yang
lain. Pembenahan sistem politik perlu dilakukan dengan visinya adalah mengikis
penindasan dan membebaskan yang tertindas, miskin dan teraniaya. Saya yakin
visi ini tidak bertentangan dengan Pancasila, karena yang diperjuangkan adalah
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
_Gendon
Komentar
Posting Komentar