Narasi-Hidup
Masih terngiang dalam ingatan, tentang
kakekku, seorang veteran perang Kemerdekaan yang memilih menjadi
transmigran ketika pensiun. Beliau pernah berkata, " Le...menawa kowe
mangan aja nganti turah sa-elas wae segane (Nak...ketika kau makan
jangan pernah kau sisakan nasimu barang sebulir saja)". Ketika masih
daku masih kecil, kalimat itu berulang-ulang dinyatakan kepadaku. Bukan
tanpa maksud ketika hampir setiap hari beliau mengajakku menemaninya
kesawah. Membuatkan ketupat lonjong dari janur (daun) kepala dan
mengisinya dengan seekor jangkrik, ketika sawah mengering. Kali lain
mengajariku menangkap belut ketika musim ngebak (meratakan dataran sawah
yang basah) sudah mulai. Juga membawaku nyuluh (berburu) kodok ketika
padi sudah mulai tumbuh tinggi. Hampir setiap masa tahapan menanam padi
selalu saja ada permainan yang dikenalkan kepadaku. Sembari bermain
banyak ingatan yang melekat sampai hari ini tentang kerja beliau di
sawah.
Menambatkan cerita yang hidup, begitulah
kumaknai cara beliau mengajarku. Dimulai dengan menyatakan sebuah
pranata (hukum), dan tanpa penjelasan. Dibiarkannyalah daku bertanya dan
sesat dalam labirinnya. Sembari mengalihkanku dengan banyak permainan
yang memberi ruang ingatan, mencatat dan menghubungkan semua peristiwa
dalam kotak otakku. Bukan penjelasan yang beliau berikan, namun ruang
bagiku untuk belajar sendiri, menghubungkannya dan berani mengambil
kesimpulan secara merdeka. Daku begitu bersyukur oleh karena cerita itu
masih hidup sampai sekarang dan melekat dalam ruang ingatku, bahkan bau,
hawa dan suasananya begitu pekat (masih) terasa.
Menambatkan cerita yang hidup, mungkin saat
ini bukan pilihan. Ketika semua orang kepingin cepat mengerti dan tahu.
Mbah Google menjadi solusi cepat dan instan. Bahkan kunci jawab lebih
bermartabat dan berharga katimbang pertanyannya sendiri. Jawaban tunggal
menjadi cara cepat mengatasi persoalan, yang kemudian menyingkirkan
kemerdekaan berpikir beda. Waktu dan proses menjadi barang mahal dalam
dunia yang bergerak (mobile). Kerinduan mencecap cerita yang hidup
menjadi kehausan yang tak pernah terpenuhi.
Dalam ranah keagamaan, setali tiga uang, sama saja. Kotbah menjadi lebih bermakna katimbang bacaan Sabda. Doa Hening kalah prebawa dengan rangkain mantra manis buatan Pendeta. Bahkan sikap berpantang dan disiplin menyisakan sehari-hari dikalahkan dengan kontainer sumbangan yang jelas lebih mengundang tempik-sorak pujian.
Dalam ranah keagamaan, setali tiga uang, sama saja. Kotbah menjadi lebih bermakna katimbang bacaan Sabda. Doa Hening kalah prebawa dengan rangkain mantra manis buatan Pendeta. Bahkan sikap berpantang dan disiplin menyisakan sehari-hari dikalahkan dengan kontainer sumbangan yang jelas lebih mengundang tempik-sorak pujian.
Ketika mengingat wejangan kakekku, daku
sadar bahwa bukan saja satu bulir beras begitu berharga. Namun aku
mendapati bahwa jangkrik, kodok, janur, sawah, padi, kerbau, dan manusia
sama berharganya. Masing-masing mengisi ruang cerita dalam hidupku dan
menghidupiku sampai hari ini. Mereka bukan obyek namun subyek dimana aku
melekatkan hidupku bersama dengan mereka. (DSP)
Komentar
Posting Komentar