Buku Sampah
Beberapa hari ini saya menyibukkan diri dengan menata ulang
koleksi buku di ruang “kerja”. Saya golongkan buku itu jadi beberapa kategori. Buku
novel, kumpulan cerpen, biografi, sejarah, tafsir, dogma, sejarah gereja....
dan satu kategori lagi yang lucu : buku sampah! Lho, buku kok sampah??
Buku sampah ini hanya bahasa saya saja untuk merujuk
buku-buku yang tidak sepantasnya ada di koleksi buku saya. Beberapa diantaranya
adalah buku-buku renungan kiriman dari berbagai lembaga, yang memang tidak terpakai. Juga ada novel-novel teenlit yang entah
darimana datangnya dan tiba-tiba saya temukan di dalam rak buku saya. Beberapa lagi
adalah buku yang salah beli. Memang tidak semua buku yang saya beli sesuai
dengan gambaran awal. Ada beberapa buku yang kelihatannya menarik dari
judul dan sampul, tapi setelah dibeli dan dibaca beberapa halaman sangat jauh
dari harapan.
Tidak mudah untuk menentukan ini buku sampah atau bukan. Dibutuhkan
ketegasan untuk menentukan ini tidak lagi terpakai dan ini masih terpakai. Ada kalanya
lama menimbang. Ini masuk yang mana? Disimpan kok tidak pernah disentuh, dianggap
sampah kok sayang. Memang di sinilah seninya. Semakin kita berani mengambil
keputusan, semakin banyak sampah yang tersisihkan. Untunglah jaman ini kita
sangat dibantu dengan adanya data digital. Kalau memang ada versi digitalnya
(ebook), buku-buku yang meragukan itu mending di”sampah”kan saja.
Setelah terkumpul semua, buku sampah itu ada tiga kardus
banyaknya. Tidak saya buang, tapi saya angkut ke gudang. Ternyata setelah
buku-buku sampah itu disisihkan, koleksi buku jadi lebih tertata. Meskipun tidak
lagi terlihat penuh, tapi sekarang sudah jauh lebih mudah mencari buku yang
diinginkan. Berbeda saat buku-buku sampah masih memenuhi rak, kelihatannya
banyak buku tapi membuat kacau. Semrawut. Sama halnya dengan komputer, tablet,
smartphone, kalau penuh dengan data-data dan aplikasi sampah, kinerjanya tidak
akan optimal. Ada kalanya data-data tersebut dihapus. Apalagi gadget yang
memorinya kecil seperti smartphone saya. Kalau tidak rajin-rajin membersihkan
sampah, ya akan menjadi sangat lambat kinerjanya.
Dalam hal kepercayaan, kita mengenal prosesi pemurnian atau
penyucian diri. Prosesi ini bisa melalui puasa, baptis, ekaristi, nyepi,
bertapa, bersih desa, ruwatan, slametan... Pada intinya pemurnian diri ini
adalah memisahkan antara yang kudus dan yang kotor. Yang kudus tetaplah
dipelihara, dan yang kotor dibuang. Sama seperti menyisihkan buku sampah dengan
buku yang lain. Yang kotor, yang sampah, yang najis, itulah yang menambah
beban. Kalau hanya membebani, kenapa terus dibawa-bawa? (dpp)
Komentar
Posting Komentar