Tamu Agung
Tuhan yang bertamu. Itulah konsep doa yang dihayati oleh umat Hindu. Tamu
adalah sosok yang sudah sepantasnya dihormati, siapapun dan apapun maksud
kedatangan tamu tersebut. Sekalipun dia adalah penagih hutang, tidaklah elok kalau kita
mengusirnya begitu saja. Pun demikian dengan berdoa.
Tamu Agung pada mulanya diundang untuk
hadir. Undangan itu berwujud wangi-wangian yang biasanya berasal dari dupa yang
dibakar. Wangi-wangian itu akan menarik perhatian Tamu Agung untuk singgah
sejenak, dan membuat-Nya merasa krasan. Dalam menyambut Tamu Agung, umat Hindu mempersiapkan diri
dengan sesuci dan berdandan. Tidaklah elok menerima tamu dengan pakaian
seadanya. Ada bunga Kamboja yang tersemat di telinga sebagai tanda kehormatan empunya rumah bagi Sang Tamu Agung. Ketika Tamu Agung
telah hadir, ada interaksi dari empunya rumah untuk menjamu dan menghormati
Sang Tamu Agung tersebut.
Tamu Agung digambarkan merasuk ke dalam sebentuk patung yang lalu dipersilakan untuk mengambil tempak untuk duduk. Ucapan selamat datang dan penghormatan terwujud melalui reroncean bunga yang kemudian dikalungkan di leher Tamu Agung. Setelah memberikan sembah puja, si empunya rumah pun kemudian membasuh kaki Sang Tamu Agung – mengingat perjalanan jauh yang telah ditempuh hingga debu tebal melekat di kedua kaki-Nya. Jamuan makan pun kemudian menjadi bagian yang penting dalam perjumpaan ini. Si empunya rumah menyajikan sepincuk nasi beserta lauk dan sayurnya bagi Sang Tamu Agung untuk disantap. Setelahnya, ada sebuah percakapan yang sangat intim antara si empunya rumah dengan Sang Tamu Agung. Percakapan yang menunjukkan kedekatan dan keakraban. Sungguh sebuah perjumpaan yang meskipun tidak lama, tetapi berkesan dan menguatkan. Sebuah perjumpaan yang menimbulkan rasa rindu ketika berpisah.
Tamu Agung digambarkan merasuk ke dalam sebentuk patung yang lalu dipersilakan untuk mengambil tempak untuk duduk. Ucapan selamat datang dan penghormatan terwujud melalui reroncean bunga yang kemudian dikalungkan di leher Tamu Agung. Setelah memberikan sembah puja, si empunya rumah pun kemudian membasuh kaki Sang Tamu Agung – mengingat perjalanan jauh yang telah ditempuh hingga debu tebal melekat di kedua kaki-Nya. Jamuan makan pun kemudian menjadi bagian yang penting dalam perjumpaan ini. Si empunya rumah menyajikan sepincuk nasi beserta lauk dan sayurnya bagi Sang Tamu Agung untuk disantap. Setelahnya, ada sebuah percakapan yang sangat intim antara si empunya rumah dengan Sang Tamu Agung. Percakapan yang menunjukkan kedekatan dan keakraban. Sungguh sebuah perjumpaan yang meskipun tidak lama, tetapi berkesan dan menguatkan. Sebuah perjumpaan yang menimbulkan rasa rindu ketika berpisah.
Konsep Tamu Agung ini bagi saya cukup
inspiratif. Selama ini bagaimanakah doa umat Protestan? Beberapa waktu yang
lalu dalam sebuah seminar di LPPS Yoyakarta, pdt. Darsono Eko nyeletuk kalau doa jemaat (Protestan)
sekarang segalanya serba instan. Tanpa persiapan, tanpa keintiman, tanpa
keakraban, tanpa kerinduan. Lha Tuhan itu lalu siapa?? Tim SAR yang ditelpon
pas butuh saja, dan pas tidak butuh lantas dilupakan?? Doa umat Protestan saat ini ibarat fast food. Sing penting wareg! Apakah itu
berigizi atau
tidak, mbuh, ra ruh… Sangat berbeda
ketika doa itu diwujudkan melalui proses penghayatan yang sungguh-sungguh
seperti umat Hindu menyambut Sang Tamu Agung. Kesungguhan dalam berdoa itu
ibaratnya kita sedang menyantap masakan seorang chef profesional di hotel berbintang.
Memang sepertinya porsinya sangat kecil dan sedikit sekali. Mungkin tidak akan
membuat kita kenyang ketika kita menyantapnya. Tapi setelah menghabiskannya
ada rasa bahagia… ada rasa puas… ada rasa rindu yang tak terungkap.
Mampirlah dengar doaku, Yesus Penebus... Orang lain Kau hampiri, jangan jalan trus....
Lagu ini sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai sebuah sindiran bagi jemaat yang tidak mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh dalam
setiap doanya. Orang lain saja dihampiri dalam doanya, masak Tuhan Yesus jalan
terus saat kita berdoa? Siapa “orang lain” itu? Ya mereka yang mempersiapkan diri
menyambut Tamu Agung dengan sungguh-sungguh. Orang Hindu dengan ritual
sembahyangnya... Orang Islam dengan sholatnya... Mereka mempersiapkan diri
untuk menerima Tamu Agung! Lha orang Kristen??
Doa tidak hanya masalah bicara. Doa adalah penghormatan kepada siapa yang kita
ajak bicara. Doa juga dibutuhkan rasa rindu. Meskipun hanya sebentar berjumpa,
tapi kalau perjumpaan itu menimbulkan kesan istimewa, kita akan selalu
menantikan-Nya. Tamu Agung pun akhirnya sudi mampir dalam doa kita. Semoga
belumlah terlambat.... (dpp)
Komentar
Posting Komentar