Ruang Idealis
Di media sosial akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan
kasus orang tua yang mengeluhkan anaknya yang sudah lulus grade 8 di sebuah tempat kursus piano klasik tetapi tidak bisa
memainkan lagu Balonku Ada Lima. Lho kok bisa ya? Apanya yang salah? Kejadian yang
hampir serupa juga dialami oleh teman saya. Dia mengikuti kursus gitar klasik
sudah bertahun-tahun lamanya. Lagu klasik dengan teknik yang rumit ia mainkan
dengan mudah. Tapi lucunya, saat gitaran
bareng dengan teman-teman sebaya, dia kebingungan. "Mainin lagunya Slank
dong…" Teman saya tersebut hanya senyam-senyum saja sambil mengelus-elus gitarnya.
Lalu dia bilang… "Kuncinya apa saja ya??"
Waduh….. Cilakak ini….
Waduh….. Cilakak ini….
Inilah kelemahan sistem pendidikan kita. Pendidikan bukannya
membebaskan tetapi malah justru membelenggu. Guru musik klasik memang (biasanya)
memiliki kecenderugan mendidik dengan partitur. Diawali dengan belajar membaca
not balok, lalu berkembang kepada lagu-lagu sederhana, dan kemudian mengasah
teknik, kecepatan, dan interpretasi. Semuanya dilakukan dengan menghadap
partitur. Memang yang terjadi adalah si murid semakin lama skillnya semakin
hebat. Ia mampu menampilkan permainan komposisi lagu indah yang membuat banyak
orang berdecak kagum. Tapi coba saja partiturnya hilang satu lembar. Bubarlah permainannya.
Ketika diminta memainkan lagu baru, bingunglah dia…. Ketika harus mencari
kunci-kunci yang tidak ada di partitur, cuma bisa melongo kayak kebo…
Partitur yang mereka agung-agungkan itu, bukankah dulu
hanyalah kertas kosong tak berharga? Kertas kosong itulah yang kemudian menjadi
media para seniman menuangkan imajinasinya. Mereka menafsirkan perasaan mereka
dan melukiskannya ke dalam karya. Lha lucunya, kertas yang sudah menjadi
partitur itu lalu dianggap sebagai dogma dalam berkarya kebanyakan musisi saat ini. Yang dihargai
dan dipelajari bukan proses kreatif penciptaannya, tapi justru partiturnya.
Murid tidak diajarkan bagaimana untuk menjadi dirinya sendiri, tapi diajarkan
bagaimana menjadi seorang Bach, Beethoven, Chopin, Tarrega – yang tentu saja
mustahil terjadi!
Bukan hanya dalam dunia musik, sistem pendidikan seperti ini
banyak dijumpai di seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam hal pendidikan
iman. Misalnya saja murid yang diwajibkan menghapal ayat-ayat Kitab Suci, doa,
sahadat, kidungan, tanpa diajak untuk mengenal lebih dalam apa yang
dihapalkannya. Sistem yang hanya
mengajak murid membaca dan menghafal, tanpa memahami dan mengembangkan keunikannya,
justru membuat murid terkurung dalam sangkar emas. Guru telah memegang cetak
biru yang digunakan untuk membentuk paradigma para murid hingga sama persis
dengan gagasannya. Murid dianggap sebagai robot yang harus patuh dengan program
yang ditanam dalam memorinya. Sistem seperti ini bukan mencerdaskan tapi membodohkan!
Membunuh idealisme! Sistem inilah yang digunakan oleh para penjajah untuk
membodohkan bangsa yang dijajahnya. Membuat yang dijajah menjadi robot sehingga
mudah untuk dikibuli. Pengajar yang menggunakan sistem ini harus segera
bertobat dan berobat!
Dibutuhkan ruang bagi murid untuk berkreasi. Berimprovisasi. Berdebat. Berimajinasi tanpa batas. Tugas pengajar adalah menciptakan ruang itu. Ruang idealis. Bukan malah membatasinya dalam sangkar emas. Ruang idealis harus diwujudkan untuk membangun peradaban menjadi lebih baik. Mari ciptakan bersama ruang idealis, ruang penuh kebebasan dan kemesraan. (dpp)
Dibutuhkan ruang bagi murid untuk berkreasi. Berimprovisasi. Berdebat. Berimajinasi tanpa batas. Tugas pengajar adalah menciptakan ruang itu. Ruang idealis. Bukan malah membatasinya dalam sangkar emas. Ruang idealis harus diwujudkan untuk membangun peradaban menjadi lebih baik. Mari ciptakan bersama ruang idealis, ruang penuh kebebasan dan kemesraan. (dpp)
*) Ilustrasi adalah lukisan "Butterfly" by Colorado Abstract Artist Candace French
Komentar
Posting Komentar