Belajar Berdoa
Anak saya, Violin, di usianya yang baru dua tahun sudah
mulai belajar mengucapkan dan mengingat beberapa buah kata meskipun belum
begitu sempurna pelafalannya. Yang paling saya suka adalah saat mengatakan kata
“amin” yang dilafalkannya dengan penyebutan “amik” di saat akhir doanya. Memang
sejak lahir, Violin sudah dikenalkan dengan berdoa. Ibunya selalu menuntun
berdoa sebelum menyusui. Ketika tangannya sudah mulai leluasa bergerak, Violin
mulai diajarkan menyatukan kedua tangan, tanda berdoa. Menginjak satu tahun,
bukan hanya menyatukan tangan saja, tapi juga memejamkan mata saat berdoa (meskipun
tak jarang hanya sekejap terpejam, lalu buka mata dan malah toleh kiri-kanan). Saat
usia satu setengah tahun, mulailah Violin mengenal kata “amin”. Meskipun
pertama kali yang diucapkannya hanya “mik” saja dan butuh pancingan kata “A....”
dari orang tuanya untuk dituntaskan menjadi kata “amik”. Saat ini berdoa
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari makan, tidur, dan bepergian. Bahkan
beberapa kali sebelum makan, ketika orang tuanya lupa mengajak berdoa, Violin
langsung menyatukan tangan dan menutup mata. Ah, lucu benar mengajarkan doa
bagi anak yang masih sangat kecil.
Ketakutan saya adalah doa menjadi sebuah hapalan bagi anak.
Maka dari itu tiap kali berdoa saya dan istri saya menggunakan kalimat yang
berbeda-beda. Kadang agak panjang... kadang singkat... kadang hanya diam saja,
lalu “amik”. Doa yang hanya dihapalkan
memang membuat anak lebih mudah dalam berdoa. Tapi disini yang bekerja hanyalah
aspek kognitif anak saja. Yang bekerja adalah pikiran, bukan rasa. Sisi afektifnya
lalu diabaikan. Tidak ada komunikasi yang terwujud antara si anak dengan Tuhan.
Gersang. Doa justru menjadi dogma ketika hanya berupa hapalan semata.
Beberapa kali saya menjumpai murid katekisasi yang kesulitan
untuk berdoa. Saya minta untuk memimpin doa pembuka, jawabnya nanti saja waktu
doa penutup. Pas doa penutup saya minta memimpin doa, jawabnya besok Minggu
depan saja... Waduh.... Barulah setelah saya tanyakan secara pribadi apakah
setiap hari ia berdoa, ternyata jawabannya tidak pernah sama sekali. Dan ini
bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi sering kali dijumpai “kasus” yang
sama.
Tradisi mengajarkan doa ternyata belumlah menjadi kesadaran di setiap keluarga. Setelah ngobrol sana-sini tentang hal berdoa, ternyata mereka (murid katekisasi yang kesulitan berdoa) sering kali merasa minder mendengar doa yang runtut teratur dengan bahasa yang indah... “Kula mboten saget kados ngoten niku...” Lalu saya pun memberi kebebasan sebebas-bebasnya. Terserah kamu mau ngomong apa sama Tuhan. Doa itu tidak ada yang salah. Tidak ada yang lebih indah. Semuanya kalau dilakukan dengan ketulusan, Tuhan akan mendengarkan. Dan setelah perbincangan tesebut, mereka pun mulai berani berdoa. Dan doa mereka benar-benar asli! Kata-katanya benar-benar khas mereka sendiri. Tak jarang di tengah doa, dalam batin saya tertawa geli karena memang bahasanya benar-benar polos.
“Tuhan Yesus... ini kami sudah selesai pelajaran. Di jalan nanti janganlah beri kami kecelakaan. Pak Pendeta di gereja ini, berikanlah rejeki yang secukupnya beserta istrinya dan juga dik Vio. Amin.” Dan saya biasanya memberikan tepuk tangan serta ucapan selamat atas keberaniannya memimpin doa. Amiiiikkkk!!!! (dpp)
*) gambar ilustrasi adalah lukisan berjudul “Do So In Prayer” karya Samantha Rochard
Komentar
Posting Komentar