Tuhan Bertamu di Teras Kost
Aku mendengar Tuhan berbisik, bahwa IA akan datang. Benarkah? Mengapa tidak mendatangi orang-orang yang lebih suci itu? Mengapa mendatangiku?
Aku melongok sekali lagi
ke ujung jalan. Senyumku mengembang saat melihatNya berjalan ke arahku.
LangkahNya masih mantap seperti biasanya, penuh wibawa sekaligus menapakkan kelembutan. Hanya saja, kali ini tak kujumpai
wajah berseri-seri seperti biasanya. MataNya tirus, ada guratan kemerahan di
pipiNya, juga senyum yang menampakkan rasa lelah alih-alih keceriaan.
“Ah, ternyata memang
benar Engkau datang, Tuhan… mari,
minumlah dahulu… sepertinya Engkau lelah sekali..”
IA hanya tersenyum. TanganNya
meraih gelas berisi sirup yang sudah kupersiapkan sebelumnya, bersanding dengan
pisang goreng dan tahu isi yang kubeli dari burjo sebelah kost. Dan rupanya
pilihanku pas, karena IA meraih tahu isi tersebut dan mengunyahnya sambil
mengerling padaku.
“Aku sedikit kaget
mendengar bisikanMu, Tuhan…Ada apakah sampai Engkau menginginkan singgah di
kostku yang amburadul ini?”
“Ah, tidak ada maksud
apa-apa, anakKu.. AKU hanya ingin singgah sejenak sambil menemuimu dan
mengetahui kabarmu secara langsung..”
“Singgah? Memangnya
Engkau sedang dalam perjalanan?”
“Ya.. hari ini AKU
banyak mengunjungi gereja-gereja.. Namun sayang, tak banyak yang menerimaKu dan
mempersilahkanKu masuk ke rumahKu sendiri…”
“Hah? Yang benar saja,
Tuhan.. Gereja kan rumahMu, mengapa Engkau tidak boleh masuk kesana?
Keterlaluan ah…”
“Begitulah.. Sebagian
besar membangun pagar yang begitu tinggi, hingga AKU kesulitan melongok ke
dalamnya.. Beberapa lagi malah memiliki pagar tinggi dan anjing galak untuk
mengusir orang asing… Yang lain menolakKu masuk dengan alasan AKU tak punya
kartu keanggotaan gereja.. Yang lain lagi menolakKu masuk sebelum AKU
menyelesaikan urusan administrasi… Ada pula yang menolakKu masuk karena kantor
sedang libur…”
“Tuhan, aku tidak akan
percaya kalau bukan Engkau sendiri yang mengatakannya.. Tapi, mengapa mereka
berbuat demikian padaMu? Bukankah tiap kali mereka menyerukan untuk memuliakan
namaMu, bahkan tiap minggu gereja-gereja itu mengadakan ibadah untuk
menghormatiMu? Aku tidak mengerti, Tuhan…”
IA mengerling lagi
sebelum menyeruput sirup, ”Nak…
Kurasa mereka tidak demikian..”
“Apa maksudMu tidak
demikian?”
“Mereka tidak
mencintaiKu, mereka hanya mencintai berkat yang Kuberikan. Mereka memujaKu
karena AKU telah memberikan sesuatu yang baik bagi mereka.”
“Betulkah itu, Tuhan?
Wah, jangan-jangan aku juga demikian… Ampuni aku, Tuhan..”
“Sudahlah, Nak.. Kau
menerimaKu di sini saja AKU sudah sangat senang. Bukan materi yang Kucari, tapi
kesungguhan hati,”
“Ah, Tuhan…Aku jadi malu
nih..”
“Hahaha…AKU juga senang
saat kau senang…Karena apapun yang kaulakukan untuk sesamamu yang membutuhkan,
kau melakukanNya untuk AKU.”
IA menghela nafas
panjang. TatapanNya menerawang jauh ke depan.
“Tuhan, bolehkah aku
tahu apa yang menjadi bebanMu? Kelihatannya KAU sedang punya beban lumayan
berat..”
“AKU sedang sedih.
Banyak manusia berperang bahkan menyakiti sesamanya dengan alasan untuk
membelaKu. Kau tentunya banyak mendengar hal semacam itu, bukan?”
“Wah, itu sih hampir
tiap kali diberitakan di tv, Tuhan..”
“Tepat. AKU sedih.
Bukankah dahulu AKU menciptakan manusia agar bisa saling menjaga dan merawat bumi? Sekarang yang kulihat mereka bersitegang
dengan alasan yang aneh. Mengapa harus repot membelaKu? Bukankah sebenarnya AKU
yang telah membela mereka?”
“Aku juga tidak
mengerti, Tuhan.. Tapi, bukankah Engkau sebenarnya bisa memberikan pengertian
kepada mereka supaya mereka tidak perlu saling bunuh demi namaMu?”
IA tersenyum dan
menatapku lurus-lurus, ”Nak..
AKU menciptakan manusia, bukan robot. AKU menciptakan makhluk ini dengan akal
dan perasaan. Mereka berhak memilih jalan hidup masing-masing. Bukan orang yang
menyebut namaKu dengan gencar yang akan masuk dalam kemuliaanKu, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapa.”
Aku tidak dapat
membantah apa-apa. Aku hanya bisa terdiam mengamati gerak-gerikNya yang penuh
wibawa itu.
“Tuhan, apakah Engkau
marah pada kami?”
“Nak, Engkau tidak perlu
meragukanKu. Lakukan saja apa yang menjadi bagianmu.”
“Tapi sampai kapan semua
ini harus terjadi, Tuhan? Kapan manusia akan berhenti saling menyakiti
sesamanya?”
“Untuk itu, tidak ada
seorangpun tahu. Bukan Anak Manusia, bukan manusia, hanya Bapa sendiri. Tetapi
Engkau, pikullah salibmu dan ikutlah AKU.”
IA bangkit dan meneguk
habis sirup yang kubuatkan.
“Engkau mau kemana,
Tuhan?”
“Oh, Nak..AKU harus
melanjutkan perjalanan ini. Siapa tahu saja ada gereja yang benar-benar mau
menerimaKu untuk masuk.. By the way, terimakasih
untuk sirup dan gorengannya, AKU suka sekali.”
“Ah, Tuhan, jangan
begitu.. Hanya ini yang bisa kubelikan dengan uang yang aku punya.. Justru aku
yang harusnya minta maaf karena jamuan yang terlalu sederhana ini…”
“Percayalah Nak..
Kesederhanaan itu lebih berharga dari seribu kata-kata kosong. AKU pergi dulu
ya, jangan khawatir, AKU menyertai engkau senantiasa.”
“Iya Tuhan, terima kasih… hati-hati di jalan ya…”
Aku mengamati langkahNya
yang makin lama makin menjauh, hingga akhirnya hilang oleh sapuan mentari yang
kembali ke peraduannya. Aku tersenyum, antara lega dan miris oleh obrolan
singkat tadi.
_wuri
_wuri
Komentar
Posting Komentar