tentang kopi dan penggemarnya (sate dan kopi bagian 2)
Setelah menikmati sate kelinci yang begitu harum aromanya,
saya pun menyeruput secangkir kopi yang tersaji. Panas dan manis. Sudah sangat
lama saya tidak mencecap kopi instan yang manis. Ini mengingatkan saya akan
wedang khas angkringan Jogja Solo. Kopi hitam. Kopi rakyat.
Komunitas pecinta kopi di Indonesia bisa dibedakan menjadi dua.
Pecinta kopi instan yang merakyat dan pecinta kopi asli yang eksklusif. Kopi
instan itu manis, disukai dan diterima banyak orang. Kita bisa menjumpainya di
mana pun kita berada. Di jalan, di pasar, di sekolahan... Yang manis memang
banyak disukai. Sebaliknya, kopi asli yang langsung diseduh dari biji kopi
sangrai rasanya pahit dan asam. Tidak semua orang bisa menerima dan menyukai
kopi yang langsung diseduh dari bijinya ini. Dibutuhkan keberanian dan kegilaan
untuk mencicipinya. Tidak semua orang bisa merasakan dan menikmati kopi asli
dari biji. Di samping rasanya yang tidak merakyat, harganya juga lebih mahal.
Kopi asli ini hanya dijual di tempat-tempat khusus yang biasanya memang khusus
menyajikan seduhan biji kopi dari berbagai daerah. Tempat seperti ini hanya ada
di kota-kota besar. Oleh karenanya penggemar kopi ini sangat terbatas.
Eksklusif.
Kopi instan yang manis adalah gambaran industri populer.
Proses produksi, penjualan, dan distribusi yang sepenuhnya dikuasai oleh kaum
kapitais. Rasa manis kopi instan adalah jualan yang sangat laris di pasaran.
Sama halnya dengan musik pop yang bisa dinikmati dan diterima oleh semua orang.
Sama halnya film-film box office yang ceritanya ringan, menghibur, disukai
banyak orang. Di sisi yang lain, kopi asli yang pahit dan asam adalah sebuah
idealisme yang antimainstream. Kopi ini tidak laku dijual di pasaran. Dibutuhkan
komunitas eksklusif yang idealis untuk menjaga proses produksi dan
pemasarannya. Sama halnya dengan musik jazz, klasik, metal, underground yang
hanya bisa dicerna telinga orang-orang gila. Sama halnya dengan film drama yang
menjolkan kekuatan karakter aktor ataupun alur kisah yang tak lazim yang
seringkali sepi penonton.
Saya pun menghabiskan kopi manis yang tersaji. Begitu manis.
Tapi tidaklah idealis. (dpp)
Komentar
Posting Komentar