Sate dan Kopi (bagian 1)
Saat menuju kota Magetan, menembus belahan hutan Cemara
Sewu, sejenak saya singgah di sebuah kedai yang terletak di pinggir jalan. Hawa
dingin begitu terasa membuat perut ini keroncongan. Saya pun memesan sate
kelinci dan secangkir kopi (instan – tentunya). Lima belas menit kemudian
datanglah pesanan saya tersebut. Aroma satenya begitu harum berpadu dengan
panasnya kopi. Ah.... benar-benar surga dunia!!
Sate dan kopi. Keduanya memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama
dibakar. Sate adalah daging mentah yang dibakar dan dibumbui, sedangkan kopi –
meskipun itu instan – sebelum tersaji menjadi bubuk, mengalami proses pembakaran
terlebih dahulu atau biasa disebut sangrai. Membakar adalah proses memasak yang
paling sederhana. Cukup dengan api saja. Di jaman purba, setelah menemukan api,
manusia mencoba untuk membakar umbi-umbian dan daging buruan sehingga menjadi
matang. Dari sinilah manusia mengawali proses penciptaannya di bidang kuliner. Manusia
telah menemukan cara untuk menjadikan yang mentah, rasanya hambar, teksturnya
alot, setelah dibakar menjadi lebih empuk dan rasanya menjadi menggugah selera.
Daging yang dibakar akan mengeluarkan bau/aroma yang sangat
harum. Inilah kekuatan dari sate. Saking harumnya aroma daging bakar tersebut,
Tuhan Allah pun begitu terpesona dengan kurban bakaran Habel. Tuhan seolah
terlena dengan aroma harum tersebut sehingga tidak menghiraukan persembahan
Kain yang berupa sayur mayur. Keharuman ilahi dari daging yang dibakar inilah
yang membuat banyak orang kesengsem dengan sate. Proses pematangan yang paling
sederhana, yakni dari daging mentah, bersentuhan langsung dengan panasnya
arang, ternyata dapat menjadikan sate sebagai hidangan bercita rasa tinggi. Allah
pun begitu mengindahkannya apalagi manusia? (dpp)
Komentar
Posting Komentar