Menjual Bintang

Film Ada Apa Dengan Cinta 2 mampu menembus angka 200.000
penonton pada pemutaran perdananya. Sungguh fantastis! Apa yang membuat jualan
AADC2 laris manis? Bagi saya hanya satu alasan, yakni faktor D! Faktor Dian Sastro! Mereka
(penonton) berebut tiket itu bukan untuk nonton film AADC2, tapi untuk nonton
mbak Dian Sastro yang cuantiknya.... ah, sudahlah... Kata banyak orang
kematangan kecantikan wanita itu bukan di usia 20-an saat masih gadis, tapi
justru di usia 30-40an, saat di mana wanita itu menjelma menjadi seorang ibu
muda. Dan usia 34 adalah puncak kecantikan seorang Dian Sastro. Inilah yang
mereka jual di AADC2! Daya pikat Dian Sastro tak tergantikan oleh daya tarik
yang lain. Tema film (bagi saya) tidak ada yang spesial. Gambar, editing,
penyutradaraan, hingga theme song yang tersaji cukup bagus, tapi tidaklah
spektakuler. Kekuatan film ini hanyalah di pemeran Dian Sastronya yang membuat
banyak remaja, om-om, ibu-ibu muda, bahkan oma-opa penasaran akan
kematangan kecantikan seorang Dian Sastrowardoyo. Saya menduga, selama Dian
Sastro masih diberi kesempatan untuk berakting, kelak akan ada AADC3, 4, 5, dan
seterusnya. Dan bioskop akan selalu penuh bagi mereka yang merindukan sosok
Dian Sastro. AADC adalah Dian Sastro. Titik!
Kalau film menjual bintang, okelah.... Tapi ternyata yang
jualan bintang itu bukan hanya industri film saja. Agama pun sering kali
ikut-ikutan menjual bintang. Bukan hanya agama ini dan itu, tapi bisa dikatakan
semua agama punya satu penyakit yang sama, yakni menjual bintang. Setiap hari
saya menjumpai baliho maha besar yang isinya undangan Tabliq Akbar di lapangan
anu, dengan pendakwah Kyai anu yang cukup tersohor itu dan dipajang di jalan
raya. Juga sering saya jumpai, baliho hampir sama besarnya (atau mungkin malah
lebih besar) yang berisi, “Hadirilah KKR
Penyembuhan Ilahi, dimeriahkan oleh Pendeta anu yang sering muncul di tivi, di
gedung anu, gratis, dan ada doorprize-nya!”. Lho, bagus kan? Menarik umat
untuk datang ibadah? Kenapa disebut penyakit? Bagus sih... Tapi lalu umat yang
hadir itu tujuannya apa? Ingin ketemu Pendakwah, Pendeta, Romo, Biksu yang ngartis
itu atau ingin ketemu Tuhan? Andai saja dalam ibadah tersebut Sang Idola yang
diharapkan datang ternyata berhalangan, betapa kecewanya mereka? Lho....
Tuhan-nya kan nggak absen? Kok kecewa? Inilah penyakit! Mungkin sakitnya umat
tersebut ibarat nonton AADC tapi pemerannya ternyata bukan Dian Sastro. Lah,
yang diiklankan sama yang didapat kok beda? Penyakit itu tambah parah lagi kalau
mau kontak rohaniawan ngartis tersebut
harus melalui manager dan ada tarif untuk setiap khotbah ataupun doa. Lengkaplah
sudah penyakit kronis itu! Bisa jadi Tuhan kemudian minder dibuatnya. Tuhan
merasa kalah pamor. Dan bisa jadi suatu saat Tuhan berkata, “Biarlah ibadah itu berjalan tanpa
kehadiran-Ku. Lha wong yang mereka cari itu pendetanya, ustadnya, romonya,
biksunya, bukan Aku. Wis, tak turu wae...” (dpp)
Hmmm, kok tidak jauh beda dengan bir yg menjual bintang sbg merk dagang ya?
BalasHapuswangun...wangun..wangun..!
BalasHapus