Anak-anak juga butuh kekerasan!!
Melihat tayangan televisi saat ini, saya sangat kecewa. Televisi
menjadi ajang sensor. Nonton film tidak lagi nyaman karena banyak adegan yang
dipotong dan diburamkan. Ciuman dipotong. Memukul dipotong. Merokok diburamkan.
Pegang senjata diburamkan. Belahan dada diburamkan. Astagfirulah.... Apakah
sensor ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh kekerasan dan
pornografi? Sepertinya iya. Mengingat banyak anak yang meniru adegan kekerasan
di tivi, seperti WCW dan Naruto, maka dibuatlah peraturan yang sangat ketat
mengenai sensor.
Pada saat masih kecil, saya begitu dimanjakan dengan
tayangan-tayangan televisi yang minim sensor. Saint Seiya, Dragon Ball, Ksatria
Baja Hitam, hingga Baywatch... Kami begitu menikmati laga perang tanding antara
jagoan dengan musuh sampai berdarah-darah. Asyik-asyik saja sih waktu itu...
Dampak positifnya lalu apa? Pesan heroik! Pesan untuk menjadi pahlawan! Saint
Seiya dan kawan-kawannya berjuang habis-habisan hingga bersimbah darah untuk
membela kebenaran. Sisi kepahlawanan inilah yang mengajarkan generasi 90-an memiliki
semangat juang tanpa mengenal lelah. Hasilnya? Mungkin agak jauh kalau
dihubung-hubungkan dengan adanya gerakan reformasi 98. Tapi nyatanya memang
demikian. Mahasiswa yang berjuang merebut kemerdekaan kembali NKRI melalui
reformasi benar-benar tanpa mengenal lelah dan putus asa. Bisa jadi dorongan
semangat itu salah satunya adalah hadirnya tokoh-tokoh serial film yang
menginspirasi mereka. Kalau jaman dulu itu mungkin adanya Gavan, Sharivan,
Gogle Five, Zorro, Lone Ranger, G-Force.....
Apa jadinya jika tayangan kekerasan dijauhkan dari
anak-anak? Pengaruhnya lebih kepada semangat juang. Spiritualitas. Mereka tidak memiliki “tokoh
inspirasi” karena “tokoh inspirasi” yang hadir di televisi telah dibunuh oleh
tukang sensor lebih dulu. Lho, bukankah kalau nonton adegan kekerasan,
anak-anak suka meniru? Ya, memang benar.... Tapi itu semua tergantung bagaimana
pendampingan yang dilakukan. Angkatan 90-an menonton Saint Seiya ya fine-fine
saja. Kenapa? Ya karena tahu latar belakang kenapa terjadi pertempuran. Tahu
pertempuran itu untuk apa. Tahu siapa yang harus dilawan dan siapa yang harus
dibela. Anak-anak jaman sekarang sukanya meniru begitu saja tanpa tahu apa yang
ditirunya. Meniru gulat WCW, hanya sekedar meniru. Mereka nggak tahu (karena
tidak diberi tahu) kalau itu hanyalah bohong-bohongan saja. Mereka meniru
Naruto hanya diambil jurus-jurusnya saja, tanpa tahu Naruto itu siapa dan
kenapa berkelahi.
Kitab Suci pun penuh dengan kekerasan lho... Bagaimana Kain
membunuh Habel, bayi-bayi Israel dibunuh di sungai Nil oleh Firaun, bangsa
Israel menumpas bangsa-bangsa di Kanaan, Daud berselingkuh dengan Betsyeba, kepala
Yohanes Pembaptis dipenggal oleh Herodes, hingga Yesus yang mati disalib....
ini semua narasi kekerasan! Apakah lalu juga disensor agar anak-anak jangan tahu
dulu? Masakkan untuk menghindari narasi kekerasan, guru Sekolah Minggu
mengajarkan, “Yesus itu pokoknya lalu mati... Pokoknya mati, gitu saja, dan di
hari ketiga bangkit...” Nggak lucu kan tanpa menyebutkan Yesus itu disalib? Kekerasan
pun dibutuhkan oleh anak-anak untuk menumbuhkan iman mereka. Anak-anak merindukan
kekerasan untuk membangun kepribadian dan sepiritualitas yang berani dan
bertanggung jawab. Narasi dan tayangan kekerasan memang harus dikenalkan kepada
anak dengan penjelasan tentang kenapa harus ada kekerasan. Bukan malah
disensor, diburamkan, atau dihilangkan. (dpp)
Komentar
Posting Komentar